About Me

header ads

Orang Tua Tak Usah Tahu

Bapak: “Bapak mau kasih nasehat sedikit saja. Kalian sekarang telah jadi suami istri.

Memiliki keluarga sendiri. Jadi, apapun suka duka yang kalian temui nanti, hadapi bersama, berdua. Itulah gunanya
menikah.

Nduk cah ayu, Arum
anakku, yang selama ini sering
glenak-glenik ke ibu dan bapak
tiap ada masalah, sekarang ada
tempat yang lebih berhak untuk
mendengarkannya: suamimu.

Tidak perlu lagi menceritakan pada
Bapak dan Ibu, kecuali kalau
masalahnya memang sangat-
sangat serius, yang memerlukan
Bapak dan Ibu turut campur
membantu.

Bukan kami tak sayang
padamu, nduk, tapi nak Arif ini, kini
jadi walimu”, ucap Pak Adil,
dengan terbata-bata.

Mendadak wajah Arum pias,
matanya berkaca. Terharu, sedih,
juga bahagia menjadi satu, “Inggih,
Pak. Insya Allah”, sambil
memegang telapak tangan
bapaknya di atas meja, seolah
mengharapkan kekuatan dari sana.
“Wis, Bapak cuma mau bilang
begitu. Monggo diteruske
ngobrolnya, ”lalu Pak Adil
beringsut pergi.

Tinggal mereka berdua . Arum
memandang Arif, masih dengan
mata berkaca. Arif perlahan
mengusap pundak Arum, “Mas
akan berusaha jadi wali yang baik
untukmu. Kita sepakati ya dek,
hanya cerita yang baik-baik saja
yang akan kita sampaikan pada
Bapak Ibu kita nanti.

Mereka semua, orang tua kita, sudah tua. Kasihan kalau masih harus memikirkan kita, padahal kita
sudah berikrar untuk hidup
mandiri. Nanti seluruh masalah,
akan kita selesaikan sendiri,
berdua, adek dan Mas. Bantu mas,
ya dek…”, kata Arif sambil
menggenggam erat tangan Arum,
yang disambut dengan senyum
dan anggukan kecil dari istrinya.

Suatu senja, sebelum mereka
beranjak ke ibukota, sayup
terdengar bapak ibu Arum
berbincang di ruang tengah.
“Besok anak-anak akan berangkat
Jakarta, Pak. Sepi lagi rumah ini”
ucap bu Adil lirih mengambang.
“Iya bu. Tapi kini Arum sudah
punya suami. Sudah punya wali
sendiri. Ibaratnya, biar kita ini
sedih sampai nangis darah, jangan
tampakkan di depan anak-anak,
Bu. Beri kesempatan mereka untuk
belajar hidup. Biarkan mereka
mandiri” jawab pak Adil, tegas tapi
lembut.

Mendengarkan sepotong
percakapan itu tanpa sengaja,
refleks Arum dan Arif saling
berpandangan, dan mata mereka
berkaca-kaca.

Maka, sejak datang ke ibukota
sebagai pasangan baru hingga
berbelas tahun kemudian, sesuai
janji yang telah diikrarkan,
sebisanya mereka simpan rapat
semua cerita duka.

Setiap kaliborang tua menelpon atau mereka yang menelpon, patokannya: hanya
berita yang baik-baik saja yang
layak didengar bapak dan ibu.
Lalu begitulah. Keempat orang tua
mereka tak pernah tahu jika begitu
kembali ke ibu kota mereka masih
hidup terpisah 2 pekan lamanya,
karena rumah kontrakan belum
punya. 

Mereka terpaksa kembali ke
kost masing-masing. Juga tak
tahu saat masa-masa tertentu
Arum dan Arif pusing tujuh keliling
karena tak memiliki uang yang
cukup untuk meneruskan hidup.
Pun saat Alia, anak pertama
mereka diopname masuk rumah
sakit karena demam tinggi, Arum
tetap menahan diri, tidak
mengabari orang tua maupun
mertuanya.

Namun saat hari berikutnya
ternyata Arif juga menyusul
opname di rumah sakit karena
indikasi DBD, sehingga praktis ada
2 anggota keluarga yang menginap
di Rumah Sakit sedang mereka
juga tidak memiliki pembantu dan
Arum harus mengurusnya
sendirian, dia panik.

Meskipun yang dia telpon pertama adalah sahabatnya, juga sahabat
suaminya yang tinggalnya tak jauh
dari rumah kontrakan mereka, yang
diharapkan langsung bisa
membantu.

Setelahnya, baru Arum
telpon ke mertuanya, sambil tak
lupa memberikan kabar baik
bahwa, “Tidak usah panik, Bu.
Sudah ada teman-teman yang
akan menjagai mas Arif, sedang
Alia saya yang jaga” .
Juga saat Arum menjalani
persalinan anak-anaknya, kecuali
anak pertama yang kebetulan
waktu itu justru dilahirkan di
kampung halaman atas permintaan
orang tua, dan kebetulan Arum
tinggal menyelesaikan tesisnya
jadi tak terlalu diburu waktu. Tapi
anak ke dua dan seterusnya, hanya
mereka berdua yang mengurusnya.
Bukan berarti tak minta doa restu
pada keempat orang tua, itu tentu
sudah dilakukan sejak tahu ada
janin dalam rahim.

Tapi, detik-detik menjelang persalinan malah
selalu sengaja tak mengabari.
Berita itu akan sampai pada telinga
orang tua sebagai berita bahagia
saja, “Pak, Bu, alhamdulilah
cucunya sudah lahir, Nambah cucu
lagi nih”.Arum dan Arif tak ingin membuat jantung keempat orang tua mereka ikut tegang menunggu detik-detik kelahiran cucunya. Biasanya,begitu dikabari sudah nambahcucu baru, kakek nenek langsung segera meluncur ke ibukota, ingin melihat cucu barunya.

Lalu, saat beberapa kali anak-anak
mereka bergantian masuk opname
di rumah sakit, juga tak pernah
ada cerita. Kecuali jika anak-anak
itu sudah pulang dari rumah sakit,
dan mulai tampak sehat, baru Arum
atau Arif berani mengabari, “Ahla
kemarin opname 3 hari, tapi
sekarang sudah sehat,
Alhamdulillah”
“Alia sempat muntah-muntah
melulu, akhirnya masuk UGD dan
diopname 4 hari, tapi sekarang
juga sudah sehat, Alhamdulillah”.
Pun saat beberapa kecelakaan
kecil menimpa Arif: terjatuh dari
motor sehingga harus rontgen
karena ada indikasi retak tulang,
terserempet bis hingga luka-luka
cukup banyak…, hanya Arumlah
yang tahu. 

Juga saat rumah mereka kebanjiran, berita itu baru
terkuak saat ibu mereka menelpon
dan bertanya, “Di tivi kok daerah
Utan Kayu banjir. Kalian kebanjiran
nggak?”
“Nggak sih. Eh…, ada ding, tapi
cuma sedikiiiiit, sekarang juga
sudah kering dan rapi lagi kok”.
Ini tentang janji, ini tentang pilihan
sikap: orang tua di kampung harus
dibuat senang, dibuat tenang.
Bukan justru dibuat panik dan
bingung dengan rentetan masalah
anak-anaknya.

Tujuannya cuma satu. Selain
menjalankan amanah Bapak
tentunya, juga tak ingin
membebani pikiran orang tua
dengan berbagai hiruk pikuk
romantika perjalanan hidup anak
menantunya.

Bahkan untuk sekedar jadwal pulang kampung pun, Arum dan Arif bersepakat tak akan memberikan tanggal pasti,apalagi jam berangkat, apalagi minta dijemput di terminal/stasiun.

Pokoknya langsung datang tiba-
tiba nongol di rumah, biar menjadi
kejutan yang membahagiakan.
Mengapa tak berani memberitahu
jadwal keberangkatan? Semata
kuatir orang tua mereka akan tidak
bisa tidur menunggu kedatangan
anak cucu, menghitung jam demi
jam yang terlewati. Sementara
kondisi dalam perjalanan tak bisa
diprediksi, kadang macet berjam-
jam, kadang ada pasar tumpah
atau kecelakaan.

Kini, anak-anak Arum dan Arif telah
beranjak remaja. Membayangkan
suatu saat akan melepaskan anak-
anak untuk hidup mandiri bersama
pasangan hidup pilihannya,
sempat terbersit tanya, “Mampukah
aku seperti bapak dan ibu dulu?
Rela melepaskan anakku, legawa
melihatnya pergi, agar mereka
mandiri, meski sebenarnya hatiku
pilu?”

Bismillah, bersama Arif, Arum
yakin, ia akan mampu melalui ini,
satu hari nanti :)
(sumber: muktiberbagi.wordpress.
Foto: ilustrasi, keluarga yg mpunya blogs ini)


Post a Comment

0 Comments