kita keluar dari dikotomi partai, agama, suku dll.... Mari contoh & renungkan Kisah penggusuran di Jaman kholifah/Presiden Umar Bin Khatab.
=========================
Penggusuran Rumah seorang Yahudi
Amru ibn Ash, ia seorang Komandan perang yang selalu maju mendahului lajunya barisan paling depan. Saat menjabat Gubernur Mesir dan karena belum ada lagi panggilan untuknya maju ke medan perang, demi menyenangkan Allah SWT, ia bermaksud membangun Masjid Raya Mesir.
Setelah menemukan lokasi yang dirasanya pas, ia memulai pematangan lahan. Beberapa pemilik lahan dibayarnya pantas, hanya tinggal satu batu sandungan, seorang Yahudi tua, pemilik rumah gubuk yang tidak mau pindah.
Yahudi tua itu tidak mau menjual gubuk diatas tanahnya yang padahal tak memiliki sertifikat kepemilikan dari BPN.
Walau Gubernur Amru Ibn Ash menawarkannya emas sebanyak 15 kali lipat harga pasaran, Yahudi itu tetap tak mau melepas gubuknya.
Bangkitlah amarah Amr, rumah Yahudi itu digusurnya paksa. Tak dipedulikannya lagi si Yahudi tua. Terlalu kecil untuk orang sebesar Amr menaruh belas terhadap orang Yahudi tua lagi miskin. Ia yakin langkahnya tidak salah, sudah sosialisasi, persuasif dan lagi ini untuk kepentingan membangun rumah Allah.
Setelah kehilangan gubuknya, si Yahudi tua berjalan siang dan malam dari Mesir ke Madinah. Sengatan matahari dan angin dingin padang pasir ratusan mil tak menyurutkan semangatnya untuk mengadukan nasibnya kepada atasan Amr, yaitu Umar Ibn Khatab Ra, Penguasa Madinah.
Sesampainya di madinah, si Yahudi Tua mengisi perutnya sekaligus mengisi kembali perbekalannya di pasar. Hatinya menjadi ragu untuk mengadukan nasibnya ketika didengarnya percakapan orang-orang Madinah, betapa eratnya persahabatan antara Umar dan Amru, keduanya adalah Pahlawan Besar Qurais.
Bisa jadi, Umar akan menganggapnya mengada-ada karena tak membawa bukti kepemilikan gubuk dan tak seorangpun saksi menyertainya. Belum lagi, ia bisa didakwa menghalangi Amr membangun Masjid Raya Mesir. Masjid pertama di Afrika! Keempat didunia setelah Masjid Nabawi, Masjid Kuffah, dan Masjid Bashrah. Ia yakin akan segera dicambuk atau bahkan dipenggal kepala oleh Umar, pemilik nama yang telah menggetarkan jantung setiap orang.
"Aku tak akan mengadukan nasibku sebelum jelas betul bagaimana tabiat Umar yang kulihat nanti," demikian bathin si Yahudi tua.
Dari percakapan orang di pasar, ia tahu, Umar selalu mengimami shalat di Masjid Nabawi ketika waktu shalat tiba. Duduk di bawah pohon Korma yang berada tak jauh dari gerbang Masjid Nabawi, diamatinya aktifitas orang-orang Madinah. Tak lama ia tahu, kesederhanaan Umar yang selalu ramah kepada setiap orang yang menyapa, bahkan tak jarang Umarlah yang memberi salam terlebih dahulu.
Akhirnya, si Yahudi tua membulatkan tekadnya. Umar, Pemimpin tanpa pengawalan itu ditemuinya ketika sedang berjalan sendirian keluar Masjid Nabawi selepas berdzikir.
Setelah Umar membalas sapanya, dijelaskanlah niatnya melintasi padang pasir hanya untuk menemui Umar. Raut Umar seketika merah padam dan giginya bergemeletukan selepas mendengar penjelasan si Yahudi tua. "Ah, kiranya inilah akhir hidupku," demikian cetusan hati si Yahudi tua.
Dengan suara berat menahan marah Umar serta merta memerintahkan si Yahudi tua mencari tulang belikat Unta.
Si Yahudi tua segera pergi dan kembali dengan membawa tulang Unta dari onggokan sampah dekat dengan tempat Umar menunggunya.
Menerima tulang Unta dari tumpukan sampah, tanpa basa basi Umar segera menghunus pedangnya.
"Benar, inilah akhir hidupku," jerit hati si Yahudi tua kala melihat tajamnya bilah pedang Umar.
Dengan mata pedang, Umar segera menorehkan garis lurus sepanjang tulang Unta dan menorehkan garis melintang memotong torehan garis lurus yang telah dibuat sebelumnya.
Umar memerintahkan si Yahudi tua membawa tulang Unta itu kepada Gubernur Amr.
Kembali ke negeri Mesir, si Yahudi tua berprasangka, "Kiranya Umar tidak mau mengotori pedangnya dengan darahku. Tetapi, Gubernur Amr lah yang akan menghabisiku. Betapa tidak, bukti apa yang aku bawa pada Gubernur bahwa, tulang ini dari Umar?
Sama sekali tidak ada stempel atas tulang ini. Umar mengirimku kembali agar Amr merasa, betapa aku bermaksud menghinanya dengan tulang Unta kering dari onggokan sampah ini. Tapi, aku sudah kehilangan rumahku biarlah juga aku kehilangan nyawaku. Niscaya kelak, aku akan menuntut kedua Penguasa itu dihadapan Tuhanku"
Amru ibn Ash ketika menerima si Yahudi tua di istananya menduga, "Akhirnya kau mau terima juga GANTI UNTUNG atas gubukmu itu bukan, wahai Yahudi? Atau kau ingin meminta tambah?"
"Tidak, wahai Gubernur. Aku hanya ingin menyampaikan bingkisan ini, padamu," jawab si Yahudi tua seraya menyerahkan tulang Unta yang sudah dibungkus kain.
Menyambut tulang Unta, seorang pengawal Amr segera membuka kain pelapisnya.
Terkejutlah seiisi istana Amr, ketika tulang Unta busuk yang mengering itu tersembul. Semua pengawalnya mencabut pedang, ingin secepatnya menyeret dan menghabisi si Yahudi tua.
"Dengarkan aku, sungguh dengarkan aku, wahai Gubernur! Tulang itu bukanlah daripadaku, tulang itu dari Umar Penguasa Madinah! Aku hanya diperintah membawakannya kepadamu, wahai Gubernur..., Percayalah padaku..." Pekik si Yahudi tua ketika para pengawal Amr meringkus lehernya.
"Dusta! Tak mungkin beliau menghina Gubernur yang diangkatnya sendiri" teriak para Pengawal Amr, marah ingin sekali segera menyeret keluar dan memenggal kepala si Yahudi tua.
Tetapi, mendengar nama Umar disebut, Amr memerintahkan tulang itu dibawa kehadapannya. Ia adalah Amru ibn Ash! Penakluk Babylon, Aleksandria, Libya, Maroko, Palestina, Syria, Oman, Jerusalem dan Mesir dengan segudang pengalaman sebagai Komandan barisan terdepan atas segala bengisnya pertempuran. Ia tahu betul, tak ada satupun manusia waras di atas muka Bumi yang begitu berani menghinanya dengan tulang Unta busuk yang telah mengering. Terkecuali seseorang yaitu, Umar ibn Khatab Penguasa Madinah!
Melihat garis melintang yang memotong garis lurus diatas tulang, Amr menangis. Diciuminya tulang Unta busuk itu, air matanya menetes bercucuran. Perintahnya pada pengawalnya, "Bebaskan dia, perlakukan ia dengan hormat! Beri ia uang sebagai pengganti ongkosnya ke Madinah! Bangun kembali rumahnya dan, rubuhkanlah segala dinding yang sudah dibangun diatasnya! Kita akan mencari lahan baru untuk Masjid Raya, tapi tidak diatas bekas rumahnya."
Bukan hanya para pengawalnya saja yang terkejut, si Yahudi tua sendiri bukan alang kepalang herannya. Ditanyanya Amr, "Wahai Gubernur, ada apa dengan tulang yang kubawa itu?"
"Wahai Yahudi, ketahuilah, dengan tulang ini, sahabatku Umar Penguasa Madinah mengingatkanku. Kelak aku akan mati dan menjadi seonggok tulang juga. Sedangkan dengan torehan garis lurus, sahabatku itu mengharapkan, agar di sisa hidup ini, aku berlaku lurus dan menjadi pemimpin yang adil. Namun, apabila aku tidak lurus, maka sahabatku itu akan mendatangiku dan memenggal kepalaku, hanya demi menjaga agar sisa hidupku tak sempat bengkok. Itulah makna dari torehan garis yang melintang ini, wahai Yahudi."
Mendengar penjelasan Amr, si Yahudi tua tak kuasa menahan haru. Hanya demi membela dirinya yang kecil tak dikenal dan sama sekali tak memiliki arti, Umar sang Pemimpin Tertinggi bermaksud datang untuk memancung kepala sahabatnya sendiri, Amr ibn Ash.
Dalam genangan air mata, si Yahudi tua akhirnya berbalik merelakan gubuknya dan mengizinkan Gubernur Amr membangun Masjid Raya Fushath diatas bekas sepetak tanahnya.
Dalam mengambil keputusan, Umar tidak membedakan sejawat, bangsa, agama, bahasa, ataupun kedudukan. Yang lemah tidak ditindas dan yang kuat tidak kehilangan haknya. Yang miskin tak dipinggirkan dan yang kaya tak diperas. Dimasanya,
kebhinekaan menjadikan masyarakatnya harmonis.
Dan keadilannya menjadikan negaranya humanis. Umar ibn Khatab Ra, tidak ada sepasang mata yang tidak meneteskan airnya ketika namanya diperbincangkan oleh orang-orang yang mencintainya bahkan, sampai detik ini.
sumber: compasiana
0 Comments